Wilayah
Kecamatan Kaloran merupakan salah satu dari 20 kecamatan di Kabupaten Temanggung
berbatasan dengan wilayah barat dengan Kecamatan Kandangan. Di sebelah Timur Kabupaten
Semarang dan Kecamatan Pringsurat dan sebelah Selatan dengan Kecamatan Kranggan
dan Pringsurat. Salah satu dari 14 desa di Kecamatan Kaloran adalah Desa Kalimanggis
yang terletak di ketinggian 959 m dari permukaan laut dan berjarak 3 km dari ibukota
Kecamatan Kaloran dan 16 km dari ibukota kabupaten. Desa Kalimanggis terdapat 7
dusun yang terdiri dari 9 rukun warga (RW) dan 34 rukun tetangga (RT).
Konon, Desa Kalimanggis
dibuka sekitar 1830. Kala itu masih berupa hutan belantara dan belum punya nama.
Tokoh yang membuka Desa Kalimanggis adalah sepasang suami istri yang bernama Kiai
Cononggo dan Nyai. Keduannya merupakan pelarian dari Ngayojokarta Hadiningrat. Sepasang
suami istri menetap di suatu tempat.Mereka membangun sebuah gubug. Kiai dan Nyai
Cononggo dikaruniai tiga putra dan satu putri. Putra pertama mereka bernama Sutoreko,
yang kedua bernama Grendiyoso, putra ketiga bernama Gayong sedangkan putri satu-satunya diberi nama Giyuk.
Suatu ketika Desa
Kalimanggis mengalami kekeringan, sebagai warga Kiai Cononggo berniat mencari sumber
mata air. Sesampainya di sebelah timur tempat tinggalnya ada rembesan air yang
sangat kecil. Siang itu sangat terik, anak-anaknya ikut dalam pencarian air
merasa kehausan. Dalam pencarian sumber mata air Ki Cononggo membawa
“teken/ranting kayu” tanpa disadari “teken” yang dipegangnya itu ditancapkan pada
belahan batu padas. Tak disangka-sangka seketika keluarlah air. Betapa senang hati
Ki Cononggo beserta anak-anakny akarena mendapatkan sumber mata air. Hari berganti
hari, bulan berganti bulan setelah sekian lama “teken” tersebut tumbuh
tunas-tunas yang lama kelamaan tumbuhan itu menjadi besar dan berbuah lebat. Keempat
anak Ki Cononggo ingin memetiknya. Ki Cononggo mencoba memetik dan memakan buah
tersebut. Manis rasanya seperti buah manggis. Atas inisiatif Ki Cononggo air
yang keluar dari belahan batu padas dibuatlah kali
“pancuran/krandaribambu”. Kemudian kali (pancuran) yang dipinggirnya tumbuh pohon
yang buahnya seperti manggis oleh Ki Cononggo diberi nama “Kalimanggis”.
Waktu terus berlalu
anak-anak Ki Cononggo tumbuh dewasa dan mempunyai pasangan masing-masing. Mereka
diberi tugas membuka wilayah yang ada di Desa Kalimanggis. Ki Sutorekso diserahitugas
membuka wilayah yang banyak ditumbuhi pohon pring. Sekarang bernama Dusun
Pringkuda. Ki Grendiyo diserahi tugas membuka wilayah yang ada pohon preh. Sekarang
bernama Dusun Ngepreh. Ki Gayong diserahi tugas membuka wilayah yang banyak batunjalar.
Saat ini bernama Dusun Clapar. Nyi Giyuk diserahi tugas membuka wilayah yang
sering kabut. Sekarang bernama Dusun Lamuk.
Keempat anak Ki
Cononggo telah hidup di dusun masing-masing. Mereka mempunyai keturunan yang
banyak dan hidup sebagai petani. Suatu ketika Ki Cononggo mengajak keempat putranya
untuk membuat bending dan saluran dari wilayah Candi Garon Kecamatan Sumowono. Akhirnya
bendung itu diberi nama bendung Dung Anggruk, sekarang bernama Dam Warang Kerek.
Setelah selesai membuat bendung dilanjutkan membuat salurannya sampai sungai
(Kali Madu). Kala itu ada sebuah batu besar yang menghalagi pembangunan. Batu besar
itu ditatah sore paginya seperti semula lagi. Walau demikian mereka tetap semangat tanpa kenal lelah. Mereka berpikir untuk dapat menyelesaikannya. Keempat putra
tetap menatah batu besar tersebut sedang seorang putrid yaitu Nyi Giyuk menari. Hal
itu dilakukan berhari-hari sampai selesai. Keempat putra tersebut menatah batu
sambal bergelantungan pohon lung gadung.
Selama mereka bekerja
yang dimakan hanyalah ketela bakar sedang minumannya kopi dan terkadang arak. Selesai
pembuatan saluran dilanjutkan sampai tembus jalan. Hal ini bertujuan bahwa pembuatan
dam dan saluran untuk mengairi sawah yang akan ditanami padi. Mereka dikeramatkan
oleh generasi penerusnya sampai sekarang tetap dilestarikan dengan nama
“Sedekah Desa” dan pentas seni tari “Glok”.
Disebut glok bila orang menanam padi dengan cara menancapkan bibit padi.
Dalam Bahasa Jawa “nyeboke” bibit padi. Sedangkan tari glok biasanya diiringi gending
lung gadung karena selama menatah batu bergelantungan lung gadung. Sesajen yang
digunakan saat pentas tari glok antara lain ketelabakar, minuman kopi, arak. Acara
sedekah desa sampai sekarang masih tetap dilaksanakan sehabis panen padi.
Sepeninggalan Ki Cononggodan Nyai, keduanya dimakamkan
di Dusun Jurang. Putra pertama Ki Sutoreko dimakamkan di Dusun Pringkuda/Tawang, Ki Grendiyoso dimakamkan di pemakaman Dusun Krajan, dan Nyai Giyuk dimakamkan
di pemakaman Dusun Lamuk, di Dusun Jagang dibuka oleh kerabat dari suami Nyai Giyuk,
Dusun Kalisat merupakan daerah taklukan kala itu. Sedangkan Dusun Manguntosari merupakan
dusun relokasi yang saat itu merupakan bagian dari Dusun Jurangyang bernama
Dusun Jambon.
Disusun Oleh :
Rinna Dwi Ristiyani,
Guru SMA N 2 Temanggung.
Mengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia
Tinggal di
Jalan Gajah Ma
da dlm I/25 Temanggung